Hiruk pikuk persinggahan sepur yang mengiringi laju denyut ibu kota menemani hamparan memoriku di kala senja. Tak ada yang berbeda dengan senja ini, tetap saja perlahan datang, lalu tiba-tiba lenyap ditelan rembulan. Tergantikan keremangan malam, menyisakan kehampaan di relung sanubari setiap insan yang tenggelam dalam fatamorgana kehidupan. Termasuk diriku dalam balutan topeng ketegaran dan kenikmatan, sungguh sandiwara yang lucu rancu.
Upaya Mengalahkan Kepahitan
Tiada yang berani menghalangiku menjejakan kaki di ibu kota, kecuali ibu. Baginya aku tak perlu terlalu jauh menjalani program hamil. Ibu selalu percaya tak ada peluh yang akan menjadi sia-sia. Sang Tuan tak pernah menciptakan produk gagal, terutama untuk buah cinta-Nya. Setiap turunan Adam memiliki jalan yang berbeda-beda dan itulah perannya untuk menemukan jalan-Nya. Saat ini larangan ibu benar-benar kulanggar. Sebagaimana Hawa melanggar titah Sang Raja memakan buah surga. Yah, semua karena bagiku hidup ini pahit, sepahit buah maja.
Terbelenggu Kepedihan
Siaran keberangkatanku menggema di setiap sudut persinggahan, menggerakan langkahku menuju lori. Hari ini aku beranjak pulang ke peraduan, menyisakan kekalahan kembali abadi di pangkuan. Tadi saat sang surya menaiki takta cakrawala, aku terduduk lemas. Kumeringkuk di sudut ruang, memegangi lutut tak berdosa ini, dan mencoba merapikan hatiku. Air mataku tak lagi membara, tak seperti lima tahun yang lalu saat aku menerima kenyataaan bahwa program hamilku dinyatakan gagal.
Ya, sudah sekian lama semiluh berlabuh menyulut lara, meninggalkan duka perjalanan memperoleh buah hati. Membeku berpangku ikhtiar dan tak ada kepastian yang dipastikan. Sepur melaju, membuatku tenggelam mengarungi alam bertilam kelam saat surya beralih dari peraduan dengan alunan renyai hujan. Pengulangan kenangan berputar di benakku seakan jarum jam berputar ke kiri, nyatanya itu hanya imajinasi dan tetap tak kembali.
Sentuhan Kasih di Tengah Lara
“Pupuklah harapanmu. Kuat dan teguhkanlah hatimu. Berserahlah pada rancangan-Ku. Percayalah bahwa Aku mampu. Bukankah Aku sutradara hebat? Kuasamu terbatas tapi tidak kuasa-Ku.”
Kurasakan tangan berpijar di dahiku, sangat lembut seakan penuh kuasa. Mataku mengerjap mencari sosok pemilik kelembutan ini, tapi yang nampak hanya sinar cahaya berkilauan di ambang mata. Sebuah suara terbetik penuh rayuan karisma terdengar membuatku tertunduk resah dan Ia pun berkata:
“Hai Eletra, bagaimana kabarmu hari ini, Nak? Aku tau perahumu melesat sendat menerjang ombak. Pandanganmu kabur terselubung karat. Ragamu penat dan bertekuk lutut. Kemarilah kita rekonsiliasi relasi. Meleburlah di peluk-Ku. Berderailah dalam dekap-Ku. Pulihkanlah keimananmu. Pupuklah harapanmu. Kuat dan teguhkanlah hatimu. Berserahlah pada rancangan-Ku. Percayalah bahwa Aku mampu. Bukankah Aku sutradara hebat? Kuasamu terbatas tapi tidak kuasa-Ku.”
Aku terdiam membisu, bibirku terkunci rapat tak mampu menjawab hanya tetes air mata yang berbahasa.
Duka Meluruh
“Sabda-Mu adalah kebenaran, hukum-Mu kebebasan.
Titah Tuhan tepat, menyenangkan hati.”
Seketika ragaku terguncang, sayup-sayup terdengar pekik keras membangunkanku. Ah, rupanya aku tertidur sedari tadi. Titik air masih terus bercucuran dari pelupuk mata, menggoreskan semburat abu-abu di pipi dan jatuh di pangkuanku. Kusandarkan kepalaku, kurasakan perasaan hangat melesat relung sukma. Baja yang kubangun sebagai penghalau ombak yang menantangku hancur lebur tak bersisa.
Aku berdiam, menerawang ke masa lampau. Semburat senyuman kuukirkan di bibirku. Kemudian, hatiku bersimpuh dan melantunkan mazmur pujian: “Engkau telah datang, aku memeluk-Mu dan mempersatukan diriku sepenuhnya kepada-Mu, jangan biarkan aku terpisah daripada-Mu. Sabda-Mu adalah kebenaran, hukum-Mu kebebasan. Titah Tuhan tepat, menyenangkan hati. Perintah Tuhan jelas, membuat mata berseri. Hikmat Tuhan baik, tetap selamanya. Keputusan Tuhan benar, adil selalu. Lebih indah daripada emas murni, lebih manis daripada madu lebah.”
Ruth Lana Monika